Sulsel.utusanindo.com—DI INDONESIA, pengaturan tanah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang mengatur bahwa Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Lembaga Aliansi Indonesia Siap Membongkar Mafia Tanah di Sulawesi Selatan
Khususnya Kab.Tana Toraja ( makale )
Mafia dalam pengertian umum ialah kelompok besar yang melakukan kejahatan secara teroganisir, pada dasarnya merupakan kejahatan individu-individu yang berkelompok tanpa melibatkan institusi atau lembaga. Namun ironisnya, di Indonesia mafia menyerempet atau bersentuhan langsung dengan lembaga-lembaga Negara, meski tetap harus dilihat itu sebagai oknumnya bukan lembaganya. Contoh istilah mafia yang populer di negara kita ialah “Mafia Peradilan”, di mana jaringan mafia itu melibatkan bukan saja orang-orang di luar lembaga peradilan namun juga oknum-oknum di lembaga peradilan. Bahkan dengan dugaan banyaknya oknum yang terlibat rasanya berat menyebut oknum, kecuali ditambahi menjadi istilah oknum berjamaah.
Selain “Mafia Peradilan”, yang juga marak ada di Indonesia ialah “Mafia Tanah”. Sama dengan “Mafia Peradilan” yang bisa menyulap produk-produk lembaga peradilan sesuai keinginan mereka, para “Mafia Tanah” pun piawai menyulap kepemilikan tanah seenak mereka sendiri sesuai pesanan orang lain atau kepentingan “mafia tanah” itu sendiri.
Di antara berbagai kasus ulah “mafia tanah”, salah satu yang menonjol adalah yang terjadi di depan RSU Lakipadada Jalan Pontiku Kelurahan Tambunan Kecamatan Makale Utara Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan pada umumya. Sengketa tanah yang rawan menimbulkan konflik horizontal maupun penzhaliman terhadap masyarakat lemah banyak ditemui.
Salah satunya ialah yang menimpah Ibu Hj.Rohani Wahab yang lokasi tampat tinggalnya digugat oleh seseorang dengan dasar bukti SPPT NOP:73.18.040.009.0167.0….Tidak Jelas
“Mafia Tanah” di Sulawesi Selatan, menurut MACHMUD.BE Intelejen Investigasi Aliansi Indonesia, indikasinya dilakukan secara berjamaah. Melibatkan oknum-oknum aparat pemerintahan, terutama oknum dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri.
dengan demikian sengketa diusahakan mencapai suatu penyelesaian final. Memahami sengketa secara tepat dengan memperhitungkan berbagai implikasinya akan mampu membantu pihak ketiga yang diminta secara netral/ independen melalui mekanisme alternative penyelesaian sengketa untuk sampai kepada penyelesaian. Atau memungkinkan merancang suatu proses mekanisme yang paling sesuai dengan sengketanya.
Bila dilihat dari mekanisme penyelesaiannya, maka mekanisme yang ada saat ini sudah bisa menjadi solusi atas kebutuhan pemenuhan prinsip keadilan dan kepastian hukum dari para pihak-pihak yang bersangkutan. Para pihak yang mempunyai hak milik atas tanah diharapkan untuk lebih teliti lagi dan penuh pertimbangan dalam membuat suatu perjanjian. Dan untuk para penegak hukum yang mempunyai wewenang dalam proses penegakan hukum guna terciptanya keadilan diharapkan untuk lebih mempertimbangkan putusan-putusan yang dikeluarkan untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa melihat pihak mana yang menjadi lawan perkara.
Berdasarkan mekanisme penyelesaian yang telah ada, maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah dalam perkara perbuatan melawan hukum terhadap hak milik atas tanah, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu proses penyelesaian sengketa di pengadilan (litigasi) yaitu orang yang dilanggar haknya dapat melakukan tuntutan kepengadilan dengan melakukan permohonan atau gugatan, ataupun penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) yaitu para pihak dapat menyelesaikan permasalahan nya tanpa pihak ketiga ataupun dengan melibatkan pihak ketiga.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung. Berbeda dengan bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) lainnya, arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian sengketa adjudikatif.
Sedangkan dalam hal melawan hukum sendiri, karena perbuatan melawan hukum tidak diatur oleh undang-undang secara spesifik oleh karena itu aturan yang dipakai adalah sebuah ganti kerugian. Dalam pasal 1365 KUHPerdata, tidak ada pengaturan yang mengatur tentang adanya kerugian yang diderita oleh penggugat karena perbuatan melawan hukum yang tergugat lakukan. Sehingga seharusnya pemerintah membuat pengaturan ganti kerugian (lebih spesifiknya ada pada pasal 1365 KUHPerdata). (*habibi)
Discussion about this post